Assalamu’Alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh…..
Haihaihai Sahabatku,, , , nih ada lagi salah satu
tugas Sejarah - Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Tak ubahnya aku membagikan tugasku kepada kalian
semua para SahabatKU. Mudah-mudahan berguna ya..... eitss, tapi harus ingat!
kalau kalian mau pada copast jadi penCOPAST yang kreatif! jangan semua diambil,
diubah sedikit lah.... OK, OK, OK, Sahabatku. Aku tidak larang copast loh,
hanya sekedar mengingatkan saja!ok langsung saja Cekidot***
Kerajaan Islam Aceh Darussalam
1. Sejarah Awal Mula dan Sistem Politik
Kesultanan
Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang
berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit
hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada
masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih
Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir.
Dari
penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil
ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang
pernah memerintah Kesultanan Aceh, di dapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh
beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Berdasarkan Buttanussalating karangan Nurruddin Ar-Raniri yang berisi silsilah
sultan-sultan Aceh, dan berdasarkan berita-berita Eropa, telah diketahui bahwa
Kerajaan Aceh telah berhasil membebaskan diri dari kekuasaan kerjaan Pedir.
Berikut adalah beberapa raja yang pernah memerintah kerajaan aceh :
a.
Sultan Ali Mughayat Syah
Sultan Ali Mughayar Syah merupakan pendiri sekaligus raja
pertama dari kerajaan Aceh. Ia memerintah kerajaan Aceh tahun 1514-1528 M. Di
bawah kekuasaan, kerajaan Aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang
berada di wilayah Sumatera Utara seperti Daya dan Pasai. Bahkan melakukan
serangan terhadap bangsa Portugis di Malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.
b.
Sultan Salahuddin
Pada
tahun 1528-1573 M terjadi peralihan pimpinan dari raja sebelumnya ke Sultan
Salahuddin. Selama menduduki kerajaan Aceh, kerajaan aceh mengalami kemerosotan
akibat ketidak pedulian beliau terhadap kerajaan yang dipimpinnya. Akibatnya ia
pun diganti oleh saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah al-Kahar.
c.
Alauddin Riayat Syah al-Kahar
Beliau
memerintah pada tahun 1537-1568 M. Setelah berhasil menduduki tahta kerajaan,
ia melaksanakan berbagai bentuk perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk
pemerintahan kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Aceh mengalami
perluasan wilayah kekuasaannya seperti melakukan serangan pada kerajaan Malaka.
Saat masa pendudukan Alauddin Riayat Syah al-Kahar berakhir, kerajaan aceh
mengalami masa suram hingga akhirnya kerjaan Aceh diduduki oleh Sultan Iskandar
Muda.
d.
Sultan Iskandar Muda
Sultan
Iskandar Muda memerintah Aceh mulai pada tahun 1607-1636 M. dibawah pimpinan
beliau, kerajaan Aceh mengalami masa kejayaan. Kerajaan Aceh tumbuh menjadi
kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan Islam. Untuk mencapai kejayaan
kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda melakukan penyerangan terhadap Portugis dan
kerajaan Johor di semenanjung Malaya. Tujuannya adalah untuk menguasai
jalur-jalur perdagangan Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil
lada. Pada saat beliau wafat, kepemimpinannya digantikan oleh Sultan Iskandar
Thani.
e.
Sultan Iskandar Thani
Sultan
Iskandar Thani memerintah pada tahun 1636-1641 M. dalam menjalankan
pemerintahannya, ia melanjutkan tradisi-tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda.
Letak Ibukota Kesultanan Aceh, Kutaraja,
yang kemudian dikenal dengan Nama "Bandar Aceh Darussalam"
yang kemudian dikenal dengan Nama "Bandar Aceh Darussalam"
2. Runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam
Kesultanan
Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja perempuan. Ketika Sultan
Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya adalah Taj`al-`Alam
Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar Tsani yang
juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri
Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam
selama 34 tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup
banyak upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang
dalam istana. Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama
34 tahun itu tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan
keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam
bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar
biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.
Pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin
yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin perempuan
hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah
Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana
untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya.
Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi
al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan
kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri
Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya
Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua
pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam
masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah
(1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din
(1688-1699).
Setelah
era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium peluang untuk
kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai
terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah
kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh
Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873,
Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut,
Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893,
perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.
Beberapa Peninggalan Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam
yang Masih Tersisa
|
Memasuki
abad ke-20, dilakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus kokohnya
dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh, termasuk dengan menyusupkan seorang
pakar budaya dan tokoh pendidikan Belanda, Dr. Snouck Hugronje, ke dalam
masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat serius menjalankan tugas ini,
bahkan sarjana dari Universitas Leiden ini sempat memeluk Islam untuk
memperlancar misinya. Di dalaminya pengetahuan tentang agama Islam, demikian
pula tentang bangsa-bangsa, bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang
khusus mengenai pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk (H. Mohammad
Said b, 1985:91). Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah kolonial
Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu
berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama. Menurut
Snouck Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum
ulama. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan
harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. Secara lebih detail, Snouck
Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh,
antara lain :
1.
Hentikan
usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
2.
Jangan
mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika
mereka terdiri dari para ulama.
3.
Rebut
lagi Aceh Besar.
4.
Untuk
mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
5.
Membentuk
biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi mereka
penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri
Aceh.
6.
Membentuk
kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh dan membikin
korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah (Said b, 1985:97).
Saran ini
kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menyerang
basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar
Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses
menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam semakin
melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Setahun
kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda.
Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap
penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap
berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang yang bukan
berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Chik Di Tiro, Panglima
Polim, Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan
lain-lainnya. Akhir kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam
telah dipimpin lebih dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang panjang ini
merupakan pembuktian bahwa Kesultanan Aceh Darussalam pernah menjadi peradaban
besar yang sangat berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di bumi Melayu.
3. Silsilah
Sepanjang
riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam
tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini
silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh
Darussalam:
1.
Sulthan
Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.
Sulthan
Salah ad-Din (1528-1537)
3.
Sulthan
Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4.
Sulthan
Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
5.
Sulthan
Muda (1575)
6.
Sulthan
Sri Alam (1575-1576)
7.
Sulthan
Zain Al-Abidin (1576-1577)
8.
Sulthan
Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
9.
Sulthan
Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
10. Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
11. Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan
Meukuta Alam (1607-1636)
13. Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
14. Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj
'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
15. Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur
Alam (1675-1678)
16. Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat
Syah (1678-1688)
17. Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat
al-Din (1688-1699)
18. Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim
Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui
(1702-1703)
20. Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir
(1703-1726)
21. Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din
(1726)
22. Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah
(1723-1735)
24. Sulthan Ala al-Din Johan Syah
(1735-1760)
25. Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
28. Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah
(1791-1795)
29. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah
(1795-1815)
30. Sulthan Syarif Saif al-Alam
(1815-1818)
31. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah
(1818-1824)
32. Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
33. Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
34. Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
35. Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
36. Sulthan Muhammad Daud Syah
(1874-1903)
3. Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah
yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari
masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara
lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga,
Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan
Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat
Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami
kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar
Abad ke-14 dan 15 Masehi
|
Selain
itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli),
Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak,
Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh
Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga
Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu
menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani.
4. Kondisi Sosial-Ekonomi
Penduduk
Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang karena memiliki cukup banyak
pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga
ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di antara penduduk Aceh yang
bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang
besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga suka membuat berbagai
macam minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan, pada sekitar abad ke-16,
masyarakat Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam
sudah mengenal beberapa jenis mata uang. Uang yang digunakan di Aceh kala itu
terbuat dari emas, kupang, pardu, dan tahil (Said a, 1981:219).
PENUTUP
Kesimpulan :
Kesultanan
Aceh Darussalam merupakan kerajaan Islam yang memulai pemerintahannya ketika Kerajaan
Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang
oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14,
tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara
itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir.
Saran :
1. Dalam membuat makalah sejarah, ada
baiknya siswa belajar lebih efektif agar dapat menguasai materi secara detail
2. Siswa diharapkan menggunakan
beberapa buku literature guna melengkapi sajian materi
Wassalamu’Alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar