Minggu, 15 September 2013

Sejarah - Kerajaan Islam Aceh Sarussalam



Assalamu’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…..
Haihaihai Sahabatku,, , , nih ada lagi salah satu tugas Sejarah - Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Tak ubahnya aku membagikan tugasku kepada kalian semua para SahabatKU. Mudah-mudahan berguna ya..... eitss, tapi harus ingat! kalau kalian mau pada copast jadi penCOPAST yang kreatif! jangan semua diambil, diubah sedikit lah.... OK, OK, OK, Sahabatku. Aku tidak larang copast loh, hanya sekedar mengingatkan saja!ok langsung saja Cekidot***

Kerajaan Islam Aceh Darussalam
 
 1. Sejarah Awal Mula dan Sistem Politik
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir.
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, di dapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Berdasarkan Buttanussalating karangan Nurruddin Ar-Raniri yang berisi silsilah sultan-sultan Aceh, dan berdasarkan berita-berita Eropa, telah diketahui bahwa Kerajaan Aceh telah berhasil membebaskan diri dari kekuasaan kerjaan Pedir. Berikut adalah beberapa raja yang pernah memerintah kerajaan aceh :
a.         Sultan Ali Mughayat Syah
Sultan Ali Mughayar Syah merupakan pendiri sekaligus raja pertama dari kerajaan Aceh. Ia memerintah kerajaan Aceh tahun 1514-1528 M. Di bawah kekuasaan, kerajaan Aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatera Utara seperti Daya dan Pasai. Bahkan melakukan serangan terhadap bangsa Portugis di Malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.
b.        Sultan Salahuddin
Pada tahun 1528-1573 M terjadi peralihan pimpinan dari raja sebelumnya ke Sultan Salahuddin. Selama menduduki kerajaan Aceh, kerajaan aceh mengalami kemerosotan akibat ketidak pedulian beliau terhadap kerajaan yang dipimpinnya. Akibatnya ia pun diganti oleh saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah al-Kahar.
c.         Alauddin Riayat Syah al-Kahar
Beliau memerintah pada tahun 1537-1568 M. Setelah berhasil menduduki tahta kerajaan, ia melaksanakan berbagai bentuk perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Aceh mengalami perluasan wilayah kekuasaannya seperti melakukan serangan pada kerajaan Malaka. Saat masa pendudukan Alauddin Riayat Syah al-Kahar berakhir, kerajaan aceh mengalami masa suram hingga akhirnya kerjaan Aceh diduduki oleh Sultan Iskandar Muda.
d.        Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh mulai pada tahun 1607-1636 M. dibawah pimpinan beliau, kerajaan Aceh mengalami masa kejayaan. Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan Islam. Untuk mencapai kejayaan kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda melakukan penyerangan terhadap Portugis dan kerajaan Johor di semenanjung Malaya. Tujuannya adalah untuk menguasai jalur-jalur perdagangan Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Pada saat beliau wafat, kepemimpinannya digantikan oleh Sultan Iskandar Thani.
e.         Sultan Iskandar Thani
Sultan Iskandar Thani memerintah pada tahun 1636-1641 M. dalam menjalankan pemerintahannya, ia melanjutkan tradisi-tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda.


                                                                              
Letak Ibukota Kesultanan Aceh, Kutaraja,
yang kemudian dikenal dengan Nama "Bandar Aceh Darussalam"

 2. Runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam 
Kesultanan Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana. Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.
Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.
http://www.melayuonline.com/image/history/2009/kesultanan-aceh-07.jpg
Beberapa Peninggalan Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam yang Masih Tersisa
Memasuki abad ke-20, dilakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh, termasuk dengan menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan Belanda, Dr. Snouck Hugronje, ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat serius menjalankan tugas ini, bahkan sarjana dari Universitas Leiden ini sempat memeluk Islam untuk memperlancar misinya. Di dalaminya pengetahuan tentang agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa, bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang khusus mengenai pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk (H. Mohammad Said b, 1985:91). Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama. Menurut Snouck Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. Secara lebih detail, Snouck Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh, antara lain :
1.         Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
2.         Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
3.         Rebut lagi Aceh Besar.
4.         Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
5.         Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh.
6.         Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah (Said b, 1985:97).
Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang yang bukan berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Chik Di Tiro, Panglima Polim, Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya. Akhir kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah dipimpin lebih dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang panjang ini merupakan pembuktian bahwa Kesultanan Aceh Darussalam pernah menjadi peradaban besar yang sangat berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di bumi Melayu.

3. Silsilah
Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam:
1.        Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.        Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
3.        Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4.        Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
5.        Sulthan Muda (1575)
6.        Sulthan Sri Alam (1575-1576)
7.        Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
8.        Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
9.        Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
10.    Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
11.    Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12.    Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
13.    Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
14.    Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
15.    Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16.    Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17.    Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
18.    Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
19.    Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20.    Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21.    Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22.    Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
23.    Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
24.    Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
25.    Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
26.    Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
27.    Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
28.    Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29.    Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
30.    Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31.    Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32.    Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
33.    Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
34.    Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
35.    Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
36.    Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
3. Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
http://www.melayuonline.com/image/history/2009/kesultanan-aceh-08.jpg
Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar Abad ke-14 dan 15 Masehi

Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani.

4.  Kondisi Sosial-Ekonomi

Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata uang. Uang yang digunakan di Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu, dan tahil (Said a, 1981:219).
PENUTUP

Kesimpulan :
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan kerajaan Islam yang memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir.

Saran  :
1.    Dalam membuat makalah sejarah, ada baiknya siswa belajar lebih efektif agar dapat menguasai materi secara detail
2.    Siswa diharapkan menggunakan beberapa buku literature guna melengkapi sajian materi

Wassalamu’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…..





Tidak ada komentar:

Posting Komentar